Nama :
M. Stipan Bhakti Ardiyono
Jurusan/kelas :
HES/ 3-C
PENERAPAN DUA UNDANG-UNDANG DALAM PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian
Perubahan Sosial
Perubahan
sosial adalah perubahan yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat yang
termasuk perubahan sistem nilai dan norma sosial, sistem pelapisan sosial, pola
dan tindakan sosial warga masyarakat serta lembaga-lembaga kemasyarakatan
Menurut
Selo Soemardjan perubahan sosial
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai,
sikap-sikap sosial diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Menurut
Samuel koening perubahan sosial
menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi pada kehidupan masyarakat.
Contoh,
adanya penemuan baru dalam bidang teknologi, mendorong terjadinya perubahan
sosial dalam masyarakat dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam hal
pendidikan, pemerintahan maupun pola dan tindakan sosial warga masyarakat.
B. Paradigma
Perubahan Sosial
Paradigma
perubahan sosial adalah suatu pandangan yang mendasar tentang sesuatu yang
menjadi pokok permasalahan yang mendorong terjadinya perubahan sistem nilai dan
norma sosial warga masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Macam-macam
paradigma perubahan sosial yaitu :
1. Hukum
sebagai alat palayanan kebutuhan masyarakat maksudnya hukum bisa berubah sesuai
dengan tindakan masyarakat jika
masyarakatnya menginginkan hukum baru.
2. Hukum
sebagai alat rekayasa sosial maksudnya masyarakat diharapkan mengikuti semua
aturan yang diberlakukan oleh pemerintah dan mau tidak mau harus mengikuti
aturan itu jika melanggar akan dikenakan sanksi atau denda.
C. Penerapan
dua paradigma dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2004 Pasal 1 tentang ketentuan hukum, dalam Undang-Undang yang
dimaksud adalah :
1. Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkuprumah tangga.
2. Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yangdiberikan oleh negara untuk
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumahtangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungikorban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga.
4. Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasaaman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembagasosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementaramaupun berdasarkan penetapan
pengadilan.
5. Perlindungan
Sementara adalah perlindungan yang langsungdiberikan oleh kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain, sebelumdikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah
Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan olehPengadilan untuk memberikan
perlindungan kepada korban.
7. Menteri
adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan
Dalam pasal 2
ini subjek hukumnya adalah :
1. Lingkup
rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami,
isteri, dan anak;
b. orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orangsebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah,perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga dan/atau
c. orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalamrumah tangga tersebut.
2. Orang
yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagaianggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tanggayang bersangkutan.
Disini
saya akan mencoba menjelaskan tentang penerapan dua paradigma yang sudah saya
paparkan diatas dalam Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga :
1.
Hukum sebagai
alat pelayanan kebutuhan masyarakat saya ambil contoh pada pasal 16 ayat (1)
tetang perlindungan yang menyatakan “dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib
segera memberikan perlindungan sementara pada korban”. Dan pada ayat (2) yaitu “Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani”. Pada ayat (3) “Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan”.
pasal
11 yang menyatakan “pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga”. Disini dapat kita ketahui bahwa hukum
menjalankan tugasnya yakni sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat. Pemerintah
dan lembaga yang berperan dalam melindungi korban kekerasan rumah tangga. Bisa
dengan cara melakukan konseling memberikan informasi kepada korban dan
mendampingi korban selama masih dalam penyidikan dan sampai keputusan hakim
yang sah. Dan pasal 15 yang menyatakan
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk
: (a) mencegah berlangsungnya tindak pidana. (b) memberikan perlindungan kepada
korban. (c) memberikan pertolongan darurat. Dan (d) membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.
Hukum
sebagai alat rekayasa sosial yang tercantum pada pasal 5 yang menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara :
a.
kekerasan fisik;
b.
kekerasan
psikis;
c.
kekerasan
seksual; atau
d.
penelantaran
rumah tangga”.
Dan pada Pasal
6 yang menyatakan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat”.
Pada Pasal 7 menjelaskan
tentang “Kekerasan psikis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.”
Pasal 8 menjelaskan tentang “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c meliputi :
a.
pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;
b.
pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Dan pada Pasal 9 menjelaskan
“(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”.
Yang
menjelaskan bahwaa hukum sebagai alat rekayasa sosial bertujuan untuk merubah
masyarakart agar menjadi pribadi yang lebih baik yang sesuai dengan yang
diharapkan pembuat undang-undang, kemudian ditegaskan dengan adanya ketentuan
pidana pada pasal 44 yaitu “(1) Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
pada Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
Pada Pasal 46 “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pada Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam
rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah)”.
Pada Pasal 48 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Pada Pasal 49 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),
setiap orang yang :
a.
menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1);
b.
menelantarkan
orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)”.
Pada Pasal 50 “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a.
pembatasan gerak
pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan
waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b.
penetapan pelaku
mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.
Pada Pasal 51 “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan”.
Pada Pasal 52 “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan”.
Dan pada Pasal 53 yang
menyatakan “Tindak pidana kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
Yang diharapkan agar
dapat membuat masyarakat mempunyai efek takut dan jera jika melakukan suatu
tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
D.
Kesimpulan
Seperti
yang kita sudah bahas diatas, sebenarnya kedua paradigma tersebut sudah
diterapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan disahkanya Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
pada tanggal 22
September 2004, Di dalam
sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis,
di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang
bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat
pasangannya masing-masing.
Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi
kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang
juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu,
terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu
yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita,
kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam
rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua
belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa
menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam
rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang
lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi
pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan
kita masing-masing.
Dan dengan
adanya pengesahan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kini kekerasan dalam
rumah tangga berangsur-angsur berkurang dari tahun ketahun ini membuktikan
bahwa hukum sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat telah membantu
masyarakat dalam menegakkan keadilan yang benar-benar diinginkan masyarakat
dalam berumah tangga dan hukum sebagai alat rekayasa sosial disini maksudnya
adalah masyarakat diwajibkan mematahui setiap aturan dalam rumah tangga tanpa
adanya kekerasan jika melanggarnya maka akan dikenakan sanksi dan denda yang
telah tercantum pada UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA agar dapat terciptanya keluarga yang harmonis, aman, tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
03. UU-23th2004-penghapusan
kekerasan dalam rumah tanggal pada tanggal 4 November 2015 pada pukul 20:38 WIB
makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html
pada tanggal 4 November 2015 pada pukul 21:00 WIB