Minggu, 08 November 2015

PENERAPAN DUA UNDANG-UNDANG DALAM PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA



Nama               : M. Stipan Bhakti Ardiyono
NIM                : 1711143050
Jurusan/kelas   : HES/ 3-C
PENERAPAN DUA UNDANG-UNDANG DALAM PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A.    Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah perubahan yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat yang termasuk perubahan sistem nilai dan norma sosial, sistem pelapisan sosial, pola dan tindakan sosial warga masyarakat serta lembaga-lembaga kemasyarakatan
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Menurut Samuel koening perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi pada kehidupan masyarakat.
Contoh, adanya penemuan baru dalam bidang teknologi, mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam hal pendidikan, pemerintahan maupun pola dan tindakan sosial warga masyarakat.
B.     Paradigma Perubahan Sosial
Paradigma perubahan sosial adalah suatu pandangan yang mendasar tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan yang mendorong terjadinya perubahan sistem nilai dan norma sosial warga masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Macam-macam paradigma perubahan sosial yaitu :
1.      Hukum sebagai alat palayanan kebutuhan masyarakat maksudnya hukum bisa berubah sesuai dengan tindakan masyarakat  jika masyarakatnya menginginkan hukum baru.
2.      Hukum sebagai alat rekayasa sosial maksudnya masyarakat diharapkan mengikuti semua aturan yang diberlakukan oleh pemerintah dan mau tidak mau harus mengikuti aturan itu jika melanggar akan dikenakan sanksi atau denda.

C.     Penerapan dua paradigma dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 tentang ketentuan hukum, dalam Undang-Undang yang dimaksud adalah :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkuprumah tangga.
2.     Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yangdiberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumahtangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungikorban kekerasan dalam rumah tangga.
3.   Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
4.    Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasaaman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembagasosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementaramaupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5.    Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsungdiberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelumdikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6.   Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan olehPengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7.    Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan

Dalam pasal 2 ini subjek hukumnya adalah :
1.      Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a.       suami, isteri, dan anak;
b.      orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orangsebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan/atau
c.     orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalamrumah tangga tersebut.
2.    Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagaianggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tanggayang bersangkutan.

Disini saya akan mencoba menjelaskan tentang penerapan dua paradigma yang sudah saya paparkan diatas dalam Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga :
1.   Hukum sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat saya ambil contoh pada pasal 16 ayat (1) tetang perlindungan yang menyatakan “dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban”. Dan pada ayat (2) yaitu “Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani”. Pada ayat (3) “Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan”.
pasal 11 yang menyatakan “pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga”. Disini dapat kita ketahui bahwa hukum menjalankan tugasnya yakni sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat. Pemerintah dan lembaga yang berperan dalam melindungi korban kekerasan rumah tangga. Bisa dengan cara melakukan konseling memberikan informasi kepada korban dan mendampingi korban selama masih dalam penyidikan dan sampai keputusan hakim yang sah. Dan pasal 15 yang menyatakan “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : (a) mencegah berlangsungnya tindak pidana. (b) memberikan perlindungan kepada korban. (c) memberikan pertolongan darurat. Dan (d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang tercantum pada pasal 5 yang menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a.       kekerasan fisik;
b.      kekerasan psikis;
c.       kekerasan seksual; atau
d.      penelantaran rumah tangga”.
Dan pada Pasal 6 yang menyatakan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.
Pada Pasal 7 menjelaskan tentang “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.”
Pasal 8 menjelaskan tentang “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a.       pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.      pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Dan pada Pasal 9 menjelaskan “(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”.

Yang menjelaskan bahwaa hukum sebagai alat rekayasa sosial bertujuan untuk merubah masyarakart agar menjadi pribadi yang lebih baik yang sesuai dengan yang diharapkan pembuat undang-undang, kemudian ditegaskan dengan adanya ketentuan pidana pada pasal 44 yaitu “(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
pada Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pada Pasal 46 “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pada Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Pada Pasal 48 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Pada Pasal 49 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a.       menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.      menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)”.
Pada Pasal 50 “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a.       pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b.      penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.
Pada Pasal 51 “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan”.
Pada Pasal 52 “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan”.
Dan pada Pasal 53 yang menyatakan “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
Yang diharapkan agar dapat membuat masyarakat mempunyai efek takut dan jera jika melakukan suatu tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
D.    Kesimpulan
Seperti yang kita sudah bahas diatas, sebenarnya kedua paradigma tersebut sudah diterapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan disahkanya Undang-Undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pada tanggal 22 September 2004, Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.
            Dan dengan adanya pengesahan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kini kekerasan dalam rumah tangga berangsur-angsur berkurang dari tahun ketahun ini membuktikan bahwa hukum sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat telah membantu masyarakat dalam menegakkan keadilan yang benar-benar diinginkan masyarakat dalam berumah tangga dan hukum sebagai alat rekayasa sosial disini maksudnya adalah masyarakat diwajibkan mematahui setiap aturan dalam rumah tangga tanpa adanya kekerasan jika melanggarnya maka akan dikenakan sanksi dan denda yang telah tercantum pada UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA agar dapat terciptanya keluarga yang harmonis, aman, tentram dan damai.



DAFTAR PUSTAKA
03. UU-23th2004-penghapusan kekerasan dalam rumah tanggal pada tanggal 4 November 2015 pada pukul 20:38 WIB
makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html pada tanggal 4 November 2015 pada pukul 21:00 WIB