Dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian yang dilarang
diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal
16. Dalam Undang – Undang ini mendefinisikan
perjanjian sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian – perjanjian yang dilarang
tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak
sehat. Apabila perjanjian – perjanjian yang dilarang ini tetap dibuat oleh
pelaku usaha maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau
dianggap tidak pernah ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian hal –
hal yang tidak halal yang dilarang oleh Undang – Undang.
Perjanjian yang dilarang tersebut antara lain :
1)
Oligopoli
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama –
sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Dalam kasus ini sudah banyak terjadi salah satu contohnya adalah pada
kasus Dewa 19, kasus Perusahaan Minyak Chevron Indonesia
Company dan pada kartel Penetapan Layanan Tarif Short
Message Service (SMS). Berikut analisanya :
v Contoh Kegiatan dan Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan UU No. 5
Tahun 1999
1.
Kasus
Dewa 19
Akhir April 2008 yang lalu, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan putusan terhadap perkara No. 19/KPPU-L/2007
yaitu perkara dugaaan pelanggaran terhadap Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
LPM dan PUTS yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak
lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga usaha tidak sehat”.
Dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh EMI Music South East Asia (Terlapor
I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandy (Terlapor III),
DEWA 19 (Terlapor IV), dan Sastrawijaya (Terlapor V).
Inti dari kasus ini adalah PT. Aquarius Musikindo (PT. AM)
melaporkan kepada KPPU mengenai pindahnya Grup Musik Dewa 19 dari PT.
Aquarius Musikindo ke EMI South East Asia akibat perbuatan para
pelapor. Di duga para terlapor telah bersekongkol mendapatkan rahasia
perusahaan tentang kontrak antara artis dengan perusahaan rekaman yang antara
lain berisi nilai kontrak, bonus, harga royalty, flat pay, option, penalty dll.[1] Ternyata
perusahaan rekaman yang selama 12 tahun melahirkan 6 dari 8 album Dewa 19
itu merasa dirugikan atas kepindahan grup band asuhannya Emi South East Asia.
Pasalnya, kepindahan itu lebih mengarah pada pembajakan dan pencurian rahasia
kontrak antara Dewa 19 dengan Aquarius. Pencurian rahasia
perusahaan itu melibatkan EMI South East Asia, Arnel Affandi (mantan
kuasa Hukum Dewa 19 yang juga pernah menjabat Wakil Ketua ASIRI –
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan personil grup band yang tenar dengan
album “Republik Cinta”. Persengkongkolan kemudian melibatkan perusahaan
rekaman Blackboard Iwan Sastrawijaya. Akibat pembocoran rahasia (kontrak) itu
Aquarius menderita kerugian sebesar Rp. 4,2 Milyar lebih. [2]
Ø
Analisis
:
Dari penjelasan kasus diatas dapat di analisa kasus Dewa 19, salah
satu kesalahan yang dibuat oleh EMI Music dan Dewa 19 adalah keduanya tidak
melakukan klarifikasi lebih dahulu kepada Aquarius. Padahal Dewa 19 pada waktu
itu masih terikat kontrak dengan Aquarius. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa
EMI record, Arnel Affandi serta Iwan sastrawijaya telah bersekongkol dalam
melakukan pembajakan Dewa 19 yang akan di ambil alih oleh EMI record dari Aquarius, persekongkolan itu dalam bentuk pembocoran informasi rahasia yang
penting dalam persaingan untuk merebutkan Dewa 19, informasi yang dimaksud
adalah mengenai kontrak dan potensi ekonomi yang diterima Aquarius selama
menangani Dewa 19. Pembocoran informasi rahasia itu jelas – jelas menyalahi
Pasal 23 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang LPM dan PUTS. Dalam Pasal 23
disebutkan bahwasannya “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan
sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat”. [3]Tindakan
KPPU mengenai kasus ini menduga bahwa Dewa 19 terlibat persekongkolan, selain
itu Majelis hakim memerintahkan Emi South East Asia untuk membayar ganti rugi
kepada PT Aquarius sebesar Rp. 3,81 miliar. Putusan itu senada dengan KPPU
selain ganti rugi, EMI juga dijatuhi sanksi denda Rp. 1 Miliar karena terbukti
melanggar Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 tentang LPM dan PUTS. Sehingga dapat
kasus ini termasuk dalam Kegiatan yang dilarang dalam hal persekongkolan
yang dilakukan Emi South East Asia dan Dewa 19.
2.
Kasus
Perusahaan Minyak Chevron Indonesia Company
Perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah
melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline fornt end
enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp. 2,5 miliar.
“Menyatakan bahwa terlapor I ( Chevron ) terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang – Undang No. 5 Tahun 1999,”
kata Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi.
Dalam Pasal 19 Huruf D disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan
satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat berupa praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sementara
itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parons Indonesia (Terlapor
II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D Undang – Undang No. 5 Tahun 1999.
Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender
lainnya yaitu PT Worley Parons Indonesia (Terlapor II)
selaku pemenang tender.
Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap resume monitoring
KPPU RI mengenai adanya dugaan Pelanggaran Pasal 19 Huruf D dan Pasal 22 Undang
– Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan tender Export Pipeline Front End
Engineering & Design Contract di lingkungan Chevron Indonesia Company, yang
dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai terlapor I dan PT Worley
Parsons Indonesia sebagai terlapor II. Objek perkara ini adalah Tender Export
Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di
lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value
sebesar 4690058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua
tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis
dan tahap komersial.[4]
Ø Analisis
Dari penjelasan kasus diatas rmengenai perusahaan minyak Chevron
Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender
export pepiline front end Engineering & Design Contract kepada PT Worly parons Indonesia. Dalam kasus ini KPPU mengambil tindakan sesuai dengan UU Nomer 5
Tahun 1999 dimana pelaku dapat hukuman pidana denda serendah – rendahnya Rp.
25.000.000.000,00 dan setinggi – tingginya Rp. 100.000.000,00 atau pidana
kurungan pengganti denda selama – lamanya 6 bulan. Dari sini dapat disimpulkan
bahwasannya kasus tersebut masih termasuk dalam Kegiatan yang dilarang
yakni dalam hal persekongkolan, dimana inti dari kasus ini adanya pemenang
tender.
3.
Kartel
Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktik kartel yang dilakukan oleh enam
perusahaan seluller selama 2004 – 2008 yang menetapkan persekongkolan harga
tarif SMS Rp 350/SMS, dimana konsumen dirugikan mencapai Rp. 2,827 triliun.
Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT XL Tbk, PT
telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telcom Tbk, PT Mobile-8 Telcom Tbk dan PT Smart
Telcom. Namun hingga kini kerugian yang dialami oleh konsumen yang mencapai Rp.
2,827 triliun belum ada ganti ruginya.[5]
Ø Analisis
Dari penjelasan kasus diatas, dapat saya simpulkan bahwa kasus
tersebut sangat merugikan konsumen dan jauh dari asa dan tujuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:
ü Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
ü Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
ü Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
ü Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Akan
tetapi KPPU dalam memberikan sanksi masih begitu lemah, karena hanya dikenakan
senksi denda sebesar 25 milyar, dimana hal tersebut masih tidak sebanding
dengan kerugian yang dialami oleh para konsumennya.
[1] http://signnet.blogspot.co.id, Menyoal
Putusan KPPU Tentang Kasus Dewa 19, diakses pada tanggal 22 Mei 2016 pukul
19:05 WIB.
[2] http://www.m.cuplik.com, Emi dan
Dewa 19 Terbukti Bersekongkol, diakses pada tanggal 22 Mei 2016 pukul 19:45
WIB.
[3] http://m.hukumonline.com, Kasus
Persaingan Usaha, diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 19:55 WIB.
[4] http://nasional.kontan.co.id/news/chevron-divonis-denda-rp-25-miliar, diakses pada
tanggal 23 Mei 2016 pukul 21 : 07 WIB.
[5] https://andrianhermawan.wordpress.com, Contoh
Kasus KPPU, diakses pada tanggal 24 Mei 2016 pukul `17:55 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar