Selasa, 24 Mei 2016

Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang



Dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian yang dilarang diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16. Dalam Undang – Undang ini mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian – perjanjian yang dilarang tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Apabila perjanjian – perjanjian yang dilarang ini tetap dibuat oleh pelaku usaha maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian hal – hal yang tidak halal yang dilarang oleh Undang – Undang.
Perjanjian yang dilarang tersebut antara lain :
1)   Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama – sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam kasus ini sudah banyak terjadi salah satu contohnya adalah pada kasus Dewa 19, kasus Perusahaan Minyak Chevron Indonesia Company dan pada kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS). Berikut analisanya :
v Contoh Kegiatan dan Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999
1.    Kasus Dewa 19
Akhir April 2008 yang lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan putusan terhadap perkara No. 19/KPPU-L/2007 yaitu perkara dugaaan pelanggaran terhadap Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 tentang LPM dan PUTS yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga usaha tidak sehat”. Dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandy (Terlapor III), DEWA 19 (Terlapor IV), dan Sastrawijaya (Terlapor V).
Inti dari kasus ini adalah PT. Aquarius Musikindo (PT. AM) melaporkan kepada KPPU mengenai pindahnya Grup Musik Dewa 19 dari PT. Aquarius Musikindo ke EMI South East Asia akibat perbuatan para pelapor. Di duga para terlapor telah bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan tentang kontrak antara artis dengan perusahaan rekaman yang antara lain berisi nilai kontrak, bonus, harga royalty, flat pay, option, penalty dll.[1] Ternyata perusahaan rekaman yang selama 12 tahun melahirkan 6 dari 8 album Dewa 19 itu merasa dirugikan atas kepindahan grup band asuhannya Emi South East Asia. Pasalnya, kepindahan itu lebih mengarah pada pembajakan dan pencurian rahasia kontrak antara Dewa 19 dengan Aquarius. Pencurian rahasia perusahaan itu melibatkan EMI South East Asia, Arnel Affandi (mantan kuasa Hukum Dewa 19 yang juga pernah menjabat Wakil Ketua ASIRI – Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan personil grup band yang tenar dengan album “Republik Cinta”. Persengkongkolan kemudian melibatkan perusahaan rekaman Blackboard Iwan Sastrawijaya. Akibat pembocoran rahasia (kontrak) itu Aquarius menderita kerugian sebesar Rp. 4,2 Milyar lebih. [2]

Ø Analisis :
Dari penjelasan kasus diatas dapat di analisa kasus Dewa 19, salah satu kesalahan yang dibuat oleh EMI Music dan Dewa 19 adalah keduanya tidak melakukan klarifikasi lebih dahulu kepada Aquarius. Padahal Dewa 19 pada waktu itu masih terikat kontrak dengan Aquarius. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa EMI record, Arnel Affandi serta Iwan sastrawijaya telah bersekongkol dalam melakukan pembajakan Dewa 19 yang akan di ambil alih oleh EMI record dari Aquarius, persekongkolan itu dalam bentuk pembocoran informasi rahasia yang penting dalam persaingan untuk merebutkan Dewa 19, informasi yang dimaksud adalah mengenai kontrak dan potensi ekonomi yang diterima Aquarius selama menangani Dewa 19. Pembocoran informasi rahasia itu jelas – jelas menyalahi Pasal 23 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang LPM dan PUTS. Dalam Pasal 23 disebutkan bahwasannya “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. [3]Tindakan KPPU mengenai kasus ini menduga bahwa Dewa 19 terlibat persekongkolan, selain itu Majelis hakim memerintahkan Emi South East Asia untuk membayar ganti rugi kepada PT Aquarius sebesar Rp. 3,81 miliar. Putusan itu senada dengan KPPU selain ganti rugi, EMI juga dijatuhi sanksi denda Rp. 1 Miliar karena terbukti melanggar Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 tentang LPM dan PUTS. Sehingga dapat kasus ini termasuk dalam Kegiatan yang dilarang dalam hal persekongkolan yang dilakukan Emi South East Asia dan Dewa 19.

2.    Kasus Perusahaan Minyak Chevron Indonesia Company
Perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline fornt end enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp. 2,5 miliar.
“Menyatakan bahwa terlapor I ( Chevron ) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang – Undang No. 5 Tahun 1999,” kata Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi.
Dalam Pasal 19 Huruf D disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sementara itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parons Indonesia (Terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D Undang – Undang No. 5 Tahun 1999. Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yaitu PT Worley Parons Indonesia (Terlapor II) selaku pemenang tender.
Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap resume monitoring KPPU RI mengenai adanya dugaan Pelanggaran Pasal 19 Huruf D dan Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract di lingkungan Chevron Indonesia Company, yang dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai terlapor I dan PT Worley Parsons Indonesia sebagai terlapor II. Objek perkara ini adalah Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value sebesar 4690058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis dan tahap komersial.[4]
Ø  Analisis
Dari penjelasan kasus diatas rmengenai perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pepiline front end Engineering & Design Contract kepada PT Worly parons Indonesia. Dalam kasus ini KPPU mengambil tindakan sesuai dengan UU Nomer 5 Tahun 1999 dimana pelaku dapat hukuman pidana denda serendah – rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 dan setinggi – tingginya Rp. 100.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama – lamanya 6 bulan. Dari sini dapat disimpulkan bahwasannya kasus tersebut masih termasuk dalam Kegiatan yang dilarang yakni dalam hal persekongkolan, dimana inti dari kasus ini adanya pemenang tender.

3.    Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
KPPU berhasil membongkar praktik kartel yang dilakukan oleh enam perusahaan seluller selama 2004 – 2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS Rp 350/SMS, dimana konsumen dirugikan mencapai Rp. 2,827 triliun. Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT XL Tbk, PT telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telcom Tbk, PT Mobile-8 Telcom Tbk dan PT Smart Telcom. Namun hingga kini kerugian yang dialami oleh konsumen yang mencapai Rp. 2,827 triliun belum ada ganti ruginya.[5]
Ø  Analisis
Dari penjelasan kasus diatas, dapat saya simpulkan bahwa kasus tersebut sangat merugikan konsumen dan jauh dari asa dan tujuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:
ü  Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
ü  Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
ü  Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
ü  Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Akan tetapi KPPU dalam memberikan sanksi masih begitu lemah, karena hanya dikenakan senksi denda sebesar 25 milyar, dimana hal tersebut masih tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh para konsumennya.


[1] http://signnet.blogspot.co.id, Menyoal Putusan KPPU Tentang Kasus Dewa 19, diakses pada tanggal 22 Mei 2016 pukul 19:05 WIB.
[2] http://www.m.cuplik.com, Emi dan Dewa 19 Terbukti Bersekongkol, diakses pada tanggal 22 Mei 2016 pukul 19:45 WIB.
[3] http://m.hukumonline.com, Kasus Persaingan Usaha, diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 19:55 WIB.
[4] http://nasional.kontan.co.id/news/chevron-divonis-denda-rp-25-miliar, diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 21 : 07 WIB.
[5] https://andrianhermawan.wordpress.com, Contoh Kasus KPPU, diakses pada tanggal 24 Mei 2016 pukul `17:55 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar